
GAPGINDO - Industri gula yang tergabung dalam Gabungan Produsen Gula Indonesia (Gapgindo) mengaku antusias soal mitigasi perubahan iklim yang terkait nilai ekonomi karbon (NEK) di sektor pertanian. Asosiasi ini mengundang Anggri Hervani SP, MSc, tenaga ahli dari Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Sumber Daya Lahan Pertanian (BBPSI SDLP) Kementerian Pertanian, untuk memaparkan isu seputar kebijakan terkait karbon, Selasa (11/2/2025).
Menurut Anggri, rata-rata temperatur di permukaan bumi global pada Juni 2024 adalah 1,50°C lebih tinggi dari periode praindustri 1880-1920. Indonesia ingin berkontribusi menekan laju pemanasan global melalui komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk memitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu caranya adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
“Sumber-sumber emisi GRK yang biasa dihasilkan di sektor pertanian adalah metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan pupuk N,” papar Anggri yang bersam tim pernah meneliti emisi nitrogen oksida di lahan tebu di Pati, Jawa Tengah.
Dalam mitigasi perubahan iklim, muncul pendekatan berbasis pasar untuk mengendalikan polusi melalui pemberian insentif ekonomi untuk mengurangi emisi GRK. Indonesia mengeluarkan PP no 98/2021 mengenai penyelenggaraan Nilai Emisi Karbon (NEK) yang dilakukan antara lain melalui mekanisme perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja. Sedangkan penyelenggaraan NEK dapat dilakukan mulai dari kementerian, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat.
Tantangan on farm dan off farm
Isu NEK ini menarik minat Gapgindo yang memiliki anggota delapan pabrik gula berbasis tebu dan disokong para petani mitra. Menurut Ketua Umum Gapgindo Syukur Iwantoro, industri gula sangat tertarik untuk mengambil manfaat dari NEK.
“Namun, penghitungan emisi GRK ini terpisah antara on farm dan off farm. Di ranah pertanian atau on farm ditangani Kementan namun di ranah produksi ditangani Kementerian Perindustrian. Idealnya, ini dilakukan terpadu sehingga memudahkan pelaku industri dan petani untuk mendapat manfaat ekonomi dari kebijakan pemerintah,” kata Syukur.
Saat ini pabrik gula anggota Gapgindo menggunakan teknologi modern dalam pengolahan tebu menjadi gula. Dengan alat yang terkini, pabrik gula menerapkan Carbon Capture and Storage (CCS). Dengan teknologi ini, karbon dioksida dari proses produksi dimanfaat kembali untuk proses pemutihan gula.
Sementara pabrik gula lain juga mampu melakukan pemupukan melalui sistem tetes. Langkah ini juga diyakini sebagai kontribusi pengurangan emisi GRK oleh industri gula anggota Gapgindo.
“Gapgindo berharap, BBPSI SDLP dapat melakukan pendampingan bagi anggota kami untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim sesuai peraturan yang berlaku,” ujar Syukur.
Tak hanya bagi industri, Gapgindo juga berharap BBPSI SDLP dapat mengedukasi dan sosialisasi proses mitigasi tersebut kepada para petani tebu mitra. Para petani ini diharapkan memahami tanaman penghasil karbon dan melakukan pertanian tebu yang berkelanjutan sehingga mampu berkontribusi dalam proses mitigasi.
“Kami mengharapkan bantuan teknis pemantauan emisi dan penurunan emisi sehingga dapat digunakan untuk memperoleh Sertifikat Penurunan Emisi (SPE),” kata Syukur menambahkan. “Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan evaluasi dan tindakan korektif setelah perolehan SPE.” (yen)